Nonton dan Review Film: The King of Kings (2025)
The King of Kings (2025)

Nonton dan Review Film: The King of Kings (2025)

Diposting pada

Ketika dunia animasi bertemu dengan narasi klasik dari Charles Dickens dan kisah spiritual Yesus Kristus, lahirlah sebuah karya yang mencoba menggugah keimanan dan imajinasi sekaligus: The King of Kings (2025). Film ini membawa kita dalam petualangan melalui sudut pandang seorang anak yang penuh rasa ingin tahu dan dibalut dengan gaya visual khas studio animasi modern.

Sayangnya, meski menyimpan potensi besar dan deretan pengisi suara papan atas, film ini juga menimbulkan berbagai reaksi tajam. Izinkan saya membedah film ini dari segi narasi, sinematografi, penyampaian pesan, serta relevansinya dengan audiens modern, terutama keluarga Kristen dan anak-anak.

Catatan: Hingga artikel ini ditulis (April 2025), The King of Kings belum tersedia di platform streaming Indonesia. Namun, kemungkinan besar film ini akan hadir di platform seperti Vidio, Netflix, dan Disney+ Hotstar, mengingat distribusinya dari Angel Studios.
Pantau ketersediaan film ini secara resmi di JustWatch Indonesia
atau kunjungi situs resmi Angel Studios.


Kisah dan Gaya Cerita: Petualangan Religi dalam Imajinasi Anak

Film ini disutradarai oleh Seong-ho Jang, dikenal lewat kepiawaiannya di bidang visual efek, dan ditulis bersama oleh Rob Edwards dan Jamie Thomason. The King of Kings diadaptasi dari “The Life of Our Lord” karya Charles Dickens — sebuah narasi pribadi Dickens kepada anak-anaknya tentang Yesus Kristus.

Narasi dibingkai dengan gaya penceritaan seorang ayah kepada putranya, Walter, yang sangat menggemari kisah King Arthur dan mitologi Camelot. Sang ayah mencoba menyisipkan kisah Yesus sebagai dongeng sebelum tidur — sebuah sentuhan yang seharusnya penuh kehangatan dan pengharapan. Tapi, sayangnya, eksekusinya terasa kurang matang dan justru sering kali kehilangan arah.


Animasi dan Gaya Visual: Funko Pop Bertemu Alkitab

Bisa dibilang, ini adalah salah satu aspek yang paling kontroversial dari film ini. Animasi bergaya karakter Funko Pop — kepala besar, tubuh kecil, ekspresi minim — membuat banyak momen emosional terasa datar. Ketika Yesus disalib, kita justru melihat karakter dengan wajah tanpa kedalaman emosi yang seharusnya menyayat hati. Terasa ganjil dan kehilangan koneksi spiritualnya.

Ada pujian kecil untuk beberapa adegan latar belakang yang menggunakan gaya 2D yang lebih klasik. Namun sayangnya, ini terlalu sedikit untuk menyelamatkan keseluruhan gaya visualnya.


Pengisi Suara: Bintang Bertabur, Narasi Tersandung

Tak main-main, film ini menampilkan Ben Kingsley sebagai Charles Dickens, Uma Thurman sebagai Catherine Dickens, dan Pierce Brosnan sebagai Pontius Pilatus. Tapi semua ini seperti dipermainkan oleh naskah yang terburu-buru dan terlalu berat di kutipan kitab.

Para aktor seolah berusaha keras memberi nyawa pada karakter mereka, tapi naskah yang bertele-tele dan paduan gaya bahasa yang campur aduk — dari klasik Inggris hingga bahasa sehari-hari Amerika — membuat performa mereka tersendat.


Pesan Moral dan Relevansi: Edukatif tapi Terkesan Memaksakan

Intensi utama dari film ini jelas: memperkenalkan kisah Yesus kepada generasi muda. Ide ini bagus, namun sayangnya penyampaiannya kadang terlalu memaksakan. Ada kesan bahwa film ini mencoba terlalu keras untuk “menyentuh hati”, padahal justru membuat audiens merasa dijejali narasi satu arah tanpa ruang kontemplasi.

Momen-momen religius besar seperti mukjizat, pengkhianatan Yudas, hingga penyaliban Yesus, terjadi terlalu cepat tanpa pengantar yang memadai. Hasilnya, bukan ketegangan spiritual yang muncul, tapi kebingungan.


Segmen Anak dan Keluarga: Aman Tapi Tidak Menginspirasi

Film ini memang ditujukan untuk penonton muda. Sebagai tayangan untuk sekolah minggu atau tontonan keluarga Kristen, The King of Kings bisa jadi pilihan. Namun, dibandingkan film sejenis seperti The Prince of Egypt, film ini terasa jauh dari kata menyentuh atau membekas.

Animasi yang seharusnya bisa menarik anak-anak justru terasa hambar. Bahkan, keberadaan kucing peliharaan yang sering muncul terasa lebih seperti pengalih perhatian daripada elemen naratif penting.


Nilai Produksi: Niat Baik Tak Cukup

Produksi film ini menunjukkan niat baik — dan memang, niat itu patut dihargai. Tapi dalam konteks seni dan sinema, niat saja tidak cukup. Ketika penyajian kisah Yesus — tokoh sentral dalam iman Kristiani — terasa seperti potongan-potongan kisah tanpa penghubung yang kuat, maka makna spiritualnya bisa hilang.

Dari sisi editing, pacing, dan konsistensi tone, film ini terkesan tergesa-gesa dan kurang fokus. Seolah ingin menyampaikan terlalu banyak hal sekaligus tapi tak satupun benar-benar tuntas.


Rating Akhir: ⭐⭐☆☆☆ (2 dari 5 Bintang)

Kelebihan:

  • Niat edukatif dan semangat menyampaikan kisah Yesus.
  • Deretan pengisi suara kelas atas.
  • Cocok untuk penonton anak-anak dalam konteks pengenalan nilai.

Kekurangan:

  • Animasi kaku dan tidak menyentuh.
  • Narasi tidak fokus, terlalu cepat dan terfragmentasi.
  • Penyampaian pesan terlalu didaktik, kurang elegan.
  • Visualisasi kisah religius terasa aneh, bahkan mengganggu secara emosi.

FAQ tentang Nonton dan Review Film The King of Kings (2025)

Apakah The King of Kings cocok untuk anak-anak?
Ya, meski ada beberapa adegan serius, secara keseluruhan film ini aman untuk anak-anak.

Dimana saya bisa menonton The King of Kings (2025)?
Saat ini belum tersedia secara resmi di platform streaming. Pantau JustWatch Indonesia untuk pembaruan.

Apakah film ini akurat secara teologis?
Sebagian besar kisah diambil dari Injil, namun penyajiannya sangat disederhanakan dan tidak selalu sesuai dengan konteks historis maupun spiritual.

Apa kekuatan utama film ini?
Ide menempatkan anak sebagai saksi kisah Yesus — jika saja dieksekusi lebih halus dan mendalam.

Bagaimana kualitas animasinya?
Sayangnya tidak memuaskan. Banyak karakter kurang ekspresif dan terlalu generik.

Siapa target utama film ini?
Keluarga Kristen dan anak-anak sekolah minggu yang mencari tontonan bertema iman.


Kesimpulan

The King of Kings (2025) adalah film dengan niat baik, tapi kurang berhasil dalam eksekusi. Jika Anda mencari film edukatif bertema Yesus untuk anak-anak, film ini bisa jadi opsi — meski bukan yang terbaik. Ia akan lebih kuat bila dibuat dalam format pendek atau serial mini edukatif.

Film ini mengingatkan kita bahwa kisah Yesus — penuh cinta, pengorbanan, dan harapan — layak disampaikan dengan ketulusan dan kedalaman. Semoga di masa depan, adaptasi serupa bisa lebih menyentuh, lebih jujur, dan lebih mendalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *