Pendahuluan
The Electric State (2025) adalah film fiksi ilmiah terbaru yang disutradarai oleh Anthony dan Joe Russo, duo sutradara yang sebelumnya sukses dengan film-film MCU seperti Avengers: Endgame. Adaptasi dari novel grafis karya Simon Stålenhag, film ini menawarkan perjalanan epik seorang remaja yatim piatu di dunia yang hancur bersama robot misterius dan beberapa sekutu tak terduga.
Film ini menjadi salah satu proyek Netflix yang paling ambisius dengan anggaran produksi mencapai $320 juta, menjadikannya salah satu film termahal di layanan streaming tersebut. Namun, apakah investasi besar ini berhasil memberikan hasil yang sepadan? Simak ulasan lengkapnya di bawah ini.
Sinopsis The Electric State (2025)
Di dunia yang hampir hancur karena perang besar, seorang remaja perempuan bernama Michelle (Millie Bobby Brown) melakukan perjalanan panjang untuk mencari kakaknya yang telah lama hilang. Dalam petualangannya, ia ditemani oleh robot penjaga dan seorang penyelundup eksentrik (Chris Pratt) bersama asistennya yang kocak.
Dalam perjalanan ini, mereka menghadapi berbagai rintangan, dari musuh yang mengincar mereka hingga misteri teknologi canggih yang mengendalikan dunia baru ini. Michelle perlahan menyadari bahwa ada rahasia besar di balik keberadaan robot dan kakaknya, yang bisa mengubah nasib dunia mereka selamanya.
Ulasan Film The Electric State (2025)
1. Visual Spektakuler, Tapi Apakah Seharga $320 Juta?
Salah satu aspek yang paling mencolok dari The Electric State adalah visualnya yang memukau. Dengan dunia pasca-apokaliptik yang unik dan teknologi robotik yang futuristik, film ini memang terlihat indah di layar.
Namun, banyak yang mempertanyakan apakah film ini benar-benar sepadan dengan anggaran $320 juta. Beberapa efek visual terasa luar biasa, tetapi ada juga yang tampak kurang dimanfaatkan, membuat film ini tampak seperti blockbuster standar Netflix lainnya tanpa sesuatu yang benar-benar revolusioner.
2. Cerita yang Klise, Tapi Tetap Menghibur
Secara naratif, film ini terasa seperti kombinasi dari film petualangan dystopian khas remaja, seperti The Maze Runner atau Ready Player One. Alurnya cukup mudah ditebak, dengan dialog yang kadang terasa terlalu ringan dan kurang emosional.
Banyak penggemar yang berharap film ini bisa menangkap nuansa mendalam dan melankolis dari novel grafisnya, tetapi justru mendapatkan adaptasi yang lebih berorientasi pada aksi dan humor. Sayangnya, hal ini membuat beberapa momen emosional kehilangan dampaknya.
3. Akting: Millie Bobby Brown dan Chris Pratt, Hit atau Miss?
- Millie Bobby Brown (Michelle) – Sayangnya, akting Millie terasa cukup datar dan tidak memberikan banyak variasi emosi, hampir sama dengan perannya di Stranger Things. Ini membuat karakter Michelle terasa kurang kuat sebagai pusat cerita.
- Chris Pratt (Penyelundup Misterius) – Pratt kembali dengan gaya khasnya yang penuh humor dan sarkasme, mirip seperti Star-Lord di Guardians of the Galaxy. Namun, beberapa penonton merasa karakternya terlalu banyak bercanda, mengurangi ketegangan yang seharusnya ada dalam film ini.
- Ke Huy Quan & Colman Domingo – Ke Huy Quan yang berperan sebagai dokter misterius berhasil mencuri perhatian, meskipun hanya muncul sebentar. Sementara Colman Domingo, dalam satu adegan, menunjukkan kelas akting yang lebih tinggi dibandingkan pemeran utama lainnya.
Secara keseluruhan, akting para pemain cukup baik, tetapi tidak ada yang benar-benar luar biasa atau berkesan.
4. Elemen Robot dan Tema yang Kurang Dieksplorasi
Salah satu aspek paling menarik dari cerita ini adalah hubungan antara manusia dan robot, serta bagaimana teknologi mempengaruhi emosi dan kesadaran.
Sayangnya, film ini kurang dalam mengeksplorasi tema tersebut. Alih-alih memberikan pertanyaan filosofis seperti Blade Runner 2049 atau Ex Machina, film ini lebih berfokus pada aksi dan perjalanan petualangan.
Beberapa momen yang seharusnya dramatis—seperti dilema moral robot atau bagaimana manusia memanipulasi teknologi—tidak dikembangkan dengan baik.
5. Soundtrack dan Sinematografi: Kuat tapi Tidak Unik
- Sinematografi – Beberapa adegan memiliki pencahayaan yang terlalu gelap atau menggunakan filter abu-abu yang membuat dunia terasa monoton.
- Soundtrack – Musiknya cukup baik tetapi tidak ada yang benar-benar meninggalkan kesan mendalam. Tidak ada komposisi yang bisa membuat kita merinding seperti di Interstellar atau Dune.
Kesimpulan & Rating
Secara keseluruhan, The Electric State (2025) adalah film petualangan dystopian yang cukup menghibur, tetapi tidak memberikan sesuatu yang benar-benar baru. Film ini mungkin lebih cocok untuk penonton remaja dan keluarga dibandingkan penggemar berat fiksi ilmiah yang mencari kedalaman cerita.
Aspek | Penilaian |
---|---|
Cerita | ⭐⭐⭐ (3/5) |
Visual & CGI | ⭐⭐⭐⭐ (4/5) |
Akting | ⭐⭐⭐ (3/5) |
Dunia & World-Building | ⭐⭐⭐ (3/5) |
Soundtrack & Sinematografi | ⭐⭐⭐ (3/5) |
Total Rating | 3.2/5 ⭐ |
Dimana Bisa Nonton The Electric State (2025)?
Film The Electric State merupakan Netflix Original, sehingga hanya tersedia secara eksklusif di Netflix.
🔗 Nonton The Electric State di Netflix
Kesimpulan Akhir: Worth It atau Tidak?
✅ Jika Anda mencari film petualangan fiksi ilmiah yang ringan, film ini bisa menjadi tontonan yang cukup menghibur.
❌ Jika Anda mengharapkan cerita yang lebih dalam dan emosional, mungkin Anda akan sedikit kecewa.
Film ini terasa seperti “film latar belakang”—bisa dinikmati sambil santai tanpa harus terlalu fokus. Namun, bagi mereka yang menginginkan pengalaman sinematik yang lebih bermakna, film ini mungkin akan terasa seperti peluang yang terbuang sia-sia.
Bagaimana menurut Anda? Apakah film ini layak untuk ditonton atau lebih baik dilewatkan? Tulis pendapatmu di kolom komentar!
🎬 Jangan lupa share artikel ini jika bermanfaat!