Nonton dan Review Film The Rose of Versailles (2025): Ambisi, Musik, dan Kekecewaan yang Indah
The Rose of Versailles (2025)

Nonton dan Review Film Anime Netflix The Rose of Versailles (2025) Bukan di LK21

Diposting pada

Pendahuluan: Ketika Legenda Sejarah Bertemu Romantisisme Modern

The Rose of Versailles (Versailles no Bara), karya adaptasi 2025 garapan Ai Yoshimura, mencoba menghidupkan kembali keajaiban sejarah Prancis yang sudah melegenda melalui kacamata perempuan kuat: Oscar François de Jarjayes. Mengambil latar menjelang Revolusi Prancis, film ini menyatukan tokoh-tokoh seperti Marie Antoinette dan Oscar dalam kisah perjuangan, cinta, dan identitas. Tapi apakah film berdurasi 1 jam 50 menit ini mampu menandingi kedalaman manga dan anime klasiknya?

Mari kita kupas tuntas.


Sinopsis Singkat The Rose of Versailles (2025)

Ditetapkan di penghujung abad ke-18, film ini berfokus pada kehidupan Oscar François de Jarjayes, seorang perempuan yang dibesarkan sebagai laki-laki demi menggantikan posisi militer ayahnya. Dia menjadi pengawal pribadi Ratu Marie Antoinette. Hubungan emosional, tekanan politik, dan gejolak revolusi menciptakan konflik batin yang intens dalam kisah karakter-karakter utama.

Namun, di tangan Yoshimura, kisah yang kompleks ini diringkas menjadi sekilas visualisasi glamor yang mengorbankan kedalaman narasi demi estetika panggung musikal.


Kelebihan yang Mencolok: Visual dan Musik yang Berani

Tidak bisa dipungkiri, dari segi visual, The Rose of Versailles (2025) menampilkan keindahan layaknya lukisan Rococo. Setiap adegan tampak seperti lukisan museum yang hidup. Kostum, pencahayaan, dan desain produksi benar-benar mencerminkan kemewahan istana Versailles.

Aspek musikal menjadi kejutan—atau mungkin kejutan yang tak diharapkan. Lagu-lagu yang disisipkan terkesan seperti editan video klip, lengkap dengan koreografi megah dan nuansa dramatis. Beberapa penonton mungkin menyambut ini sebagai inovasi, namun bagi pecinta cerita orisinal, ini justru menjadi sumber gangguan.


Kekurangan: Kecepatan Plot dan Kehilangan Akar Cerita

Bagi penggemar berat manga dan anime tahun 1979, film ini bisa terasa seperti rangkuman cepat yang menghilangkan esensi penting dari kisah. Banyak momen penting dihilangkan atau disederhanakan:

  • Rosalie, karakter penting, hanya muncul dalam satu adegan tanpa nama.
  • Jeanne dan kasus kalung berlian? Hilang.
  • Robespierre? Tidak ada.
  • Perkembangan karakter Oscar dan Marie terasa dipaksakan dan dangkal.

Film ini melompat dari satu konflik ke konflik lain tanpa waktu untuk membangun emosi. Penonton yang baru mengenal cerita ini akan sulit memahami kedalaman karakter dan dinamika politik yang kompleks di balik latar belakangnya.


Performa Aktor dan Karakterisasi: Hit and Miss

Oscar tetap menjadi pusat cerita, diperankan dengan karisma yang mengesankan, namun minim naskah yang memperkaya karakternya. Ia terlihat seperti sosok tragis yang dilempar ke medan perang emosional tanpa proses perkembangan yang wajar.

Marie Antoinette berubah dari polos menjadi antagonis secara instan, kehilangan nuansa ambiguitas moral yang menjadi daya tarik karakter aslinya.


Musikal yang Tidak Menyatu: Antara Hamilton dan Video TikTok

Upaya menjadikan film ini sebagai musikal ambisius tampak terlalu dipaksakan. Lagu-lagu modern dengan lirik klise sering muncul di momen krusial, mengalihkan perhatian dari emosi dan mengaburkan intensitas adegan. Climax film di Bastille dan duel Alain seharusnya mengguncang, tapi malah teredam oleh lagu pop yang tidak relevan.


Climax dan Akhir yang Emosional: Setidaknya Ada Pelipur Lara

Meski perjalanan menuju akhir terasa tergesa, adegan klimaks dari 12 hingga 14 Juli disajikan dengan indah. Penonton lama mungkin akan merasakan nostalgia yang kuat karena adegan ini menampilkan visual spektakuler dan dialog yang cukup menyentuh.

Oscar akhirnya menunjukkan sisi manusiawinya yang selama ini tersamarkan, dan keputusan akhir yang diambil karakter utama terasa mengena—meskipun tidak sekuat versi orisinal.


Kesimpulan: Layak Ditonton Tapi dengan Ekspektasi yang Terukur

The Rose of Versailles (2025) adalah film yang cantik dilihat, namun cacat secara struktur naratif. Ia menyasar para penonton yang sudah mengenal karya aslinya, namun ironisnya, justru menyederhanakan terlalu banyak hal yang membuat karya aslinya begitu ikonik.

Film ini cocok untuk ditonton secara kasual atau sebagai perkenalan visual terhadap tokoh-tokoh legendaris dalam sejarah Prancis. Namun, jika Anda mencari kedalaman cerita, nuansa politik, dan karakterisasi penuh empati—anime dan manga tetap menjadi pilihan utama.


FAQs Tentang Film The Rose of Versailles (2025)

Apakah film ini mengikuti cerita manga aslinya?
Tidak sepenuhnya. Banyak plot dan karakter penting dihilangkan atau disederhanakan.

Apakah film ini layak ditonton oleh penonton baru?
Layak, tetapi sebaiknya diikuti dengan membaca manga atau menonton anime untuk mendapatkan cerita penuh.

Apakah ini film musikal?
Ya, tetapi penggunaan elemen musikal tidak terintegrasi dengan baik dan lebih mirip video klip yang terpotong-potong.

Bagaimana dengan akting para pengisi suara?
Akting cukup solid, namun dibatasi oleh naskah yang terlalu cepat dan dangkal.

Apakah tersedia subtitle bahasa Indonesia?
Ya, film ini tersedia di Netflix dengan subtitle bahasa Indonesia.

Berapa rating yang pantas untuk film ini?
Secara keseluruhan, ★★★☆☆ (3 dari 5 bintang). Visualnya memukau, namun cerita kurang kuat.


Meski banyak kekurangan, The Rose of Versailles (2025) adalah adaptasi dengan ambisi besar. Jika Anda penggemar sejarah, drama kostum, atau sekadar ingin menikmati sinematografi yang menawan, film ini tetap menarik untuk dicoba—terutama jika sudah berlangganan Netflix.

👉 Klik di sini untuk menontonnya langsung di Netflix

Jangan lupa bagikan pendapatmu di kolom komentar dan beri tahu kami, apakah kamu setuju dengan ulasan ini? Atau punya pengalaman berbeda?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *