Nonton dan Review Film Gowok: Kamasutra Jawa (2025) – Ketika Seksualitas, Sejarah, dan Dendam Menyatu dalam Budaya Jawa
Gowok: Kamasutra Jawa (2025)

Nonton dan Review Film Gowok: Kamasutra Jawa (2025) – Ketika Seksualitas, Sejarah, dan Dendam Menyatu dalam Budaya Jawa

Diposting pada

Sinopsis: Tradisi Gowok dalam Balutan Dendam dan Romansa

Disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan ditulis bersama Aci dan ZZ Mulja Salih, Gowok: Kamasutra Jawa membawa penonton kembali ke era 1955–1965 Jawa. Film ini mencoba menyingkap salah satu tradisi kuno yang kini nyaris terlupakan: Gowok, yaitu perempuan yang ditugaskan untuk mengajarkan pendidikan seksual dan rumah tangga kepada pria muda sebelum menikah.

Cerita berpusat pada Nyai Santi (Lola Amaria), seorang gowok kawakan yang membesarkan Ratri (diperankan oleh Alika Janitina saat muda dan Raihaanun saat dewasa) agar meneruskan ilmunya. Namun kehidupan Ratri berubah saat dikhianati oleh Kamanjaya (Devano Danendra saat muda, Reza Rahadian saat dewasa). Dua dekade kemudian, dendam masa lalu Ratri bangkit saat putra Kamanjaya, Bagas (Ali Fikry), datang untuk belajar darinya tanpa mengetahui sejarah kelam orang tuanya.

Kritik Sosial & Seksualitas dalam Bingkai Budaya

Hanung Bramantyo menghadirkan film ini bukan sekadar untuk mengumbar sensualitas. Lebih dari itu, ia menyajikan kritik tajam terhadap patriarki, seksualitas yang terbungkam, serta luka sejarah Indonesia. Latar budaya Jawa sangat kuat, dengan kostum, setting, dan bahasa yang otentik. Meski begitu, film ini bukan tanpa cela.

Visual, Pace, dan Penyutradaraan

Secara teknis, film ini menghadirkan gambar yang cukup memanjakan mata, meskipun beberapa adegan malam terasa gelap dan tidak nyaman dilihat, khususnya pada bagian akhir. Penggunaan “day for night” yang tidak mulus mengganggu pengalaman visual. Warna-warna yang pucat juga menambah kesan “datar” pada suasana film.

Pacing cerita terasa lambat, bahkan cenderung membosankan di awal hingga pertengahan. Penonton membutuhkan kesabaran ekstra untuk bisa memahami arah plot, yang kerap menyimpang dari inti cerita awal.

Namun, ritual dan adegan intim ditampilkan dengan estetika tinggi, menjadikannya syahdu tanpa harus vulgar. Pilihan untuk tetap menjaga estetika tanpa menyeberang ke ranah eksploitasi patut diapresiasi.

Akting yang Kuat, Terutama dari Pemeran Senior

Lola Amaria benar-benar mencuri perhatian sebagai Nyai Santi. Karakternya hadir sebagai simbol antara pengabdian dan pembalasan. Raihaanun dan Reza Rahadian menunjukkan kualitas akting yang konsisten, sedangkan Devano Danendra dan Ali Fikry masih terasa kurang kuat dalam menjual emosi karakter mereka.

Salah satu karakter menarik adalah Liyan, yang menyelipkan komedi segar di tengah drama penuh konflik. Keberadaan karakter transpuan ini juga menjadi simbol keberanian Hanung dalam menyisipkan narasi LGBTQ+ di tengah film berlatar tradisional.

Alur Cerita: Terlalu Ambisius?

Film ini mencoba memasukkan banyak sub-plot: kisah cinta, politik komunis, seksualitas, dan budaya. Sayangnya, hal itu membuat narasi utama tentang “gowok” sendiri menjadi kurang fokus. Seperti ada hasrat besar memasukkan banyak elemen, namun akhirnya tidak semua mendapat porsi pengembangan yang seimbang.

Klimaks dan twist film yang menumpuk membuat kesan akhir terasa terburu-buru. Beberapa penonton menyebutkan bahwa narasi seperti ini akan lebih berhasil jika difokuskan menjadi serial atau diadaptasi dari novel.

Edukasi Seks dan Sejarah: Tanggung dan Kurang Mendalam

Meskipun mengangkat tema edukasi seks tradisional, sayangnya film ini tidak banyak mengungkap secara detail praktik, filosofi, dan nilai dari tradisi Gowok itu sendiri. Penonton yang berharap mendapat wawasan baru akan sedikit kecewa. Sebaliknya, narasi lebih fokus ke balas dendam dan konflik personal.

Namun tetap, ini adalah langkah awal yang berani dalam sinema Indonesia untuk mulai membicarakan seksualitas secara artistik dan kontekstual.

Rating Akhir: ★★★☆☆ (3 dari 5)

Film ini memiliki premis menjanjikan, keberanian tema, dan akting kuat dari pemain senior, namun kehilangan arah karena terlalu banyak ingin disampaikan. Sebuah karya dengan visual yang indah, narasi yang berani, tapi kurang matang dalam eksekusi.

Jika saja film ini lebih fokus pada eksplorasi budaya Gowok dan tidak terlalu banyak cabang cerita, bisa jadi Gowok: Kamasutra Jawa akan menjadi karya masterpiece sejarah dan budaya Indonesia.


Di Mana Bisa Nonton Gowok: Kamasutra Jawa?

Hingga Juni 2025, film ini belum tersedia untuk streaming resmi. Namun, Anda dapat memantau pembaruan melalui JustWatch di tautan berikut: 👉 https://www.justwatch.com/id/movie/gowok-javanese-kamasutra

Diperkirakan, film ini akan hadir di platform KlikFilm, Netflix Indonesia, atau Prime Video, mengingat rekam jejak MVP Pictures dan Dapur Films dalam mendistribusikan film-film serupa.


Gowok: Kamasutra Jawa adalah sajian sinematik yang unik dan berani. Meski belum sempurna, film ini tetap patut diapresiasi sebagai bagian dari sinema progresif Indonesia. Bagi Anda pecinta film dengan latar sejarah, nilai budaya, dan konflik batin yang kompleks, film ini layak masuk daftar tonton Anda.

🎬 Sudah nonton? Bagikan pendapat kamu di kolom komentar!

🎬 Tebak Judul Film dari Emoji!

Skor: 0

Pertanyaan: 1 dari 5

Gambar Gravatar
Merupakan situs yang menyajikan ulasan film, rekomendasi tontonan berkualitas, serta tautan legal untuk menikmati film secara aman. Dikelola oleh tim — Rio Angga, Aqilla Oktari, dan Arzaqi Sahuda — situs ini berkomitmen menghadirkan konten yang informatif, objektif, dan terpercaya bagi para pecinta dunia perfilman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *