Nonton dan Review Film: The Last Supper (2025) – Sebuah Drama Religi dengan Ekspektasi Tinggi
The Last Supper (2025)

Nonton dan Review Film: The Last Supper (2025) – Sebuah Drama Religi dengan Ekspektasi Tinggi

Diposting pada

Film The Last Supper (2025) karya Mauro Borrelli adalah salah satu film bertema religius yang mendapat perhatian menjelang Paskah. Mengangkat kisah dari perspektif Rasul Petrus dan Yudas Iskariot, film ini berusaha menggali sisi psikologis dan spiritual dari dua murid yang memiliki peran penting dalam sejarah Kekristenan. Namun, apakah film ini mampu memberikan pengalaman yang mendalam dan berkesan? Simak ulasan lengkapnya berikut ini.


Sinopsis The Last Supper (2025)

Film ini membawa kita ke malam terakhir sebelum Yesus disalibkan, dengan fokus utama pada Petrus dan Yudas. Penonton diajak menyelami konflik batin yang dialami keduanya—Petrus yang penuh semangat namun goyah, serta Yudas yang berada dalam pengaruh iblis hingga mengkhianati Gurunya.

Salah satu elemen yang cukup menarik adalah bagaimana Satan digambarkan secara visual dalam film ini. Ada adegan yang menunjukkan ular merayap di dekat Yudas saat dia tidur di kandang domba, seolah memberi tanda akan adanya kehadiran jahat yang berperan dalam keputusannya.

Film ini juga menampilkan beberapa peristiwa penting, seperti Khotbah di Bukit, Pembersihan Bait Allah, dan tentunya Perjamuan Terakhir, sebelum akhirnya memasuki momen-momen pengkhianatan dan penyaliban.


Ulasan Mendalam: Keunggulan dan Kelemahan

1. Sudut Pandang Berbeda: Fokus pada Petrus dan Yudas

Tidak seperti film-film bertema Yesus lainnya yang menampilkan perjalanan-Nya secara lengkap, The Last Supper memilih pendekatan unik dengan menempatkan Petrus dan Yudas sebagai tokoh utama. Ini memberikan sudut pandang yang lebih manusiawi tentang pergumulan iman, kesetiaan, dan penyesalan.

Namun, sayangnya, porsi Yesus dalam film ini terasa kurang mendalam. Jamie Ward, aktor yang memerankan Yesus, gagal menghadirkan kehangatan, kasih, dan kebijaksanaan yang biasa kita lihat dalam penggambaran karakter ini. Beberapa penonton bahkan menyebut ekspresinya terlalu datar dan kurang emosional, terutama saat memberikan pengajaran atau menghadapi penderitaan.

2. Kualitas Akting dan Casting yang Tidak Konsisten

Banyak yang merasa bahwa akting dalam film ini kurang kuat. Jamie Ward sebagai Yesus kurang memiliki karisma dan intensitas emosional, sementara beberapa aktor lainnya juga tampil kurang meyakinkan. Robert Knepper sebagai Yudas adalah pengecualian, karena ia berhasil menampilkan konflik batin yang lebih tajam.

Selain itu, casting film ini menuai kritik, terutama karena beberapa karakter terlalu “bersih” dan tidak sesuai dengan latar budaya Timur Tengah saat itu. Ada yang menyebutkan bahwa film ini terlihat seperti iklan produk perawatan rambut, karena tampilan para tokoh yang terlalu rapi dan tidak natural untuk era tersebut.

3. Pacing dan Editing yang Terburu-buru

Salah satu kritik terbesar terhadap film ini adalah alur cerita yang terlalu cepat dan terasa kurang mendalam. Beberapa peristiwa penting seperti Pontius Pilatus, Barabbas, dan penyaliban hanya disinggung sekilas atau bahkan dilewatkan.

Bagian Perjamuan Terakhir, yang seharusnya menjadi momen klimaks, juga tidak mendapat porsi yang cukup kuat. Film ini justru terasa seperti sebuah montase kejadian-kejadian penting tanpa memberikan ruang bagi penonton untuk benar-benar terhubung secara emosional.

4. Penggunaan AI dalam Visual

Salah satu aspek yang cukup kontroversial dalam film ini adalah penggunaan AI dalam beberapa elemen visual, terutama dalam pemandangan lanskap dan efek tertentu. Beberapa penonton merasa hal ini justru mengurangi kesan artistik dan autentisitas film, sehingga membuatnya terasa lebih seperti produksi digital dibandingkan dengan film klasik berbasis sinematografi tradisional.


Perbandingan dengan The Chosen dan Film Bertema Yesus Lainnya

Tak bisa dipungkiri, The Last Supper (2025) akan selalu dibandingkan dengan serial The Chosen, yang telah sukses besar dalam menggambarkan kisah hidup Yesus secara lebih mendalam dan emosional.

Jika dibandingkan, The Chosen memiliki:
Penokohan Yesus yang lebih hidup dan relatable
Skrip yang lebih natural dan emosional
Pengembangan karakter yang lebih kuat
Sinematografi yang lebih mendalam dan artistik

Sebaliknya, The Last Supper terasa terlalu terburu-buru, dengan skrip yang kurang menggali kedalaman emosi karakter-karakternya.


Apakah The Last Supper (2025) Layak Ditonton?

Jika Anda mencari film religius bertema Alkitab untuk menemani momen Paskah, film ini masih bisa menjadi pilihan. Namun, bagi mereka yang menginginkan sesuatu yang lebih mendalam, emosional, dan artistik, mungkin lebih baik menunggu produksi lain seperti The Chosen: Last Supper yang dijadwalkan rilis dalam waktu dekat.

Rating: ⭐⭐⭐ (3/5)

Kelebihan:
✔ Pendekatan unik dari sudut pandang Petrus dan Yudas
✔ Beberapa adegan memiliki visual menarik (seperti penggambaran Satan)
✔ Musik latar cukup mendukung atmosfer film

Kekurangan:
✘ Akting yang kurang kuat, terutama pemeran Yesus
✘ Narasi yang terasa terburu-buru dan kurang emosional
✘ Penggunaan AI dalam visual yang terasa kurang organik


Di Mana Bisa Menonton The Last Supper (2025)?

Saat artikel ini ditulis (Maret 2025), The Last Supper (2025) belum tersedia untuk streaming di Indonesia. Namun, berdasarkan tren distribusi film-film serupa, ada kemungkinan besar film ini akan segera tersedia di platform seperti:

🔹 Netflix Indonesia – sering menayangkan film-film bertema religius
🔹 Prime Video – telah memiliki katalog film Alkitabiah sebelumnya
🔹 Disney+ Hotstar – kemungkinan kecil, namun tetap bisa dipantau

Untuk update ketersediaan film ini, Anda dapat memantau melalui JustWatch di tautan berikut:
🔗 Lihat di JustWatch

Jika Anda ingin mendukung film ini dengan pre-order, bisa mengunjungi Amazon melalui tautan berikut:
🔗 Pre-order di Amazon

Untuk informasi lebih lanjut tentang film ini, kunjungi situs resminya:
🔗 Situs Resmi The Last Supper


Kesimpulan

The Last Supper (2025) adalah film yang mencoba menawarkan sudut pandang baru dalam kisah Paskah, tetapi eksekusinya masih jauh dari sempurna. Akting yang kurang meyakinkan, alur cerita yang terburu-buru, dan penggunaan AI yang kurang maksimal membuat film ini terasa kurang menggugah dibandingkan film bertema Yesus lainnya.

Bagi Anda yang ingin merasakan kisah Yesus, Petrus, dan Yudas dengan lebih emosional dan mendalam, mungkin lebih baik menunggu The Chosen: Last Supper atau menonton ulang The Passion of the Christ.

Namun, jika Anda tetap penasaran, tidak ada salahnya mencoba dan menilai sendiri!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *